Melihat Tradisi Ramadan di Pondok Pesantren: Ngaji Kitab Klasik Secara Bandongan

Melihat Tradisi Ramadan di Pondok Pesantren: Ngaji Kitab Klasik Secara Bandongan

RAMADAN adalah bulan yang berkah. Di bulan ini, kita sering melihat sekolah-sekolah atau universitas mendadak menjadi "pesantren" meskipun hanya sehari atau lebih. Kata pesantren digunakan sebagai nama untuk kegiatan rohani atau religi selama bulan puasa. Lantas bagaimana dengan lingkungan pondok pesantren (ponpes) sendiri saat bulan ramadan? Berikut liputannya

Laporan M. Arif Hidayat

SAAT bulan ramadan seperti ini, sejumlah ponpes di BS memadatkan aktifitas para santrinya. Tidak hanya kegiatan belajar di madrasah seperti Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Tapi juga kegiatan Ma’hadiyah yang menjadi kegiatan khas santri di pesantren. Salah satunya yakni kegiatan belajar mengajar mengkaji kitab-kitab klasik dan juga kontemporer dengan bimbingan kiyai dan para ustadznya.

Dengan metode Ngaji Bandongan, metode belajar yang popular di kalangan para santri, terutama di ponpes yang masih menggunakan kitab kuning sebagai sarana pembelajaran utama. Seperti yang diterapkan di Ponpes Sabilil Rasyad di Desa Sukaraja Kecamatan Kedurang Ilir.

Salah seorang pengajar di Ponpes Sabilil Rasyad, Sofyan Karim menjelaskan, konsep bandongan ini menerapkan sistem satu arah, dimana kyai atau ustadz membacakan dan menerjemahkan kitab, kemudian santri mendengarkan sambil menulis terjemahan yang dibacakan dalam kitab masing-masing. “Kegiatannya biasanya habis tarawih, subuh dan juga bakda zuhur dengan sistemnya maraton. Alhamdulilah kegiatan selama Ramadan ini padat, sebab kita ingin tidak ada waktu yang terbuang selain untuk beribadah dan menuntut ilmu selama ramadan ini,” ungkap Sofyan Karim.

Istilah bandungan atau bandongan dijelaskannya berasal dari bahasa Sunda ngabandungan yang berarti memperhatikan secara saksama atau menyimak. Namun, dalam bahasa Jawa, bandongan disebutkan juga berasal dari kata bandong, yang artinya pergi berbondong-bondong. Hal ini karena bandongan dilangsungkan dengan peserta dalam jumlah yang relatif besar.

“Kalau jumlah santrinya sedikit namanya sorogan, kalau banyak seperti kami yang terdiri 15 santri putra putri di Sabilil Rasyad ini mendengarkan kyainya yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap santri memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit,” papar pengurus Rijalul Ansor BS ini.

Sementara kitab yang diajarkan adalah kitab Safinatun Najah, Kitab Tijan Duror Kitab Fadoilul Romadhon dan Akhlak Ayyuhal Walad. “Kitab Fadhoilul Ramadan mengupas tentang keutamaan bulan ramadan, kitab Tijan Duror mengupas tentang tauhid dasar, Safinatun Najah mengupas tentang Fiqih Ibadah dan kitab Akhlak Ayyuhal Walad karangan Imam Al Ghazali mengupas tentang akhlak orang yang sedang menuntut ilmu,” ungkapnya.

Dengan latar belakang santri yang beragam, dirinya mengakui jika ada beberapa santri yang lamban bahkan ketinggalan mengikuti pengajian dengan metode tersebut. Nah untuk mengantisipasi hal itu, pihaknya harus melakukan pengulangan agar makna isi dalam kitab tersampaikan dengan utuh.

“Maklum, santrinya dari latar belakang yang beragam. Tidak semua yang datang kesini awalnya ingin belajar. Beberapa latar belakang santri ada yang dari keluarga broken home, keluarga tidak mampu bahkan ada yang berkebutuhan khusus namun tidak lagi dirawat keluarganya. Untuk logistik pondok, ada bantuan dari donatur dan juga kemandirian kami dari bidang pertanian dan perikanan,” pungkas Sofyan. (**)

Sumber: