Dilema Nelayan Bengkulu Selatan Pascanaiknya Harga BBM: Melaut Rugi, Tak Melaut Kebutuhan Tak Terpenuhi
Nalayan-DOK-raselnews.com
KENAIKAN harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi salah satunya berdampak langsung pada kehidupan para nelayan di Kabupaten Bengkulu Selatan (BS).
Tak hanya harganya melejit, namun para nelayan juga kesulitan mendapatkan BBM subsidi jenis pertalite dan bio solar lantaran ada pembatasan pembelian BBM oleh SPBU.
Per hari, setiap nelayan hanya diberi BBM sebanyak 40 liter, itupun harus melalui proses panjang dan ketat.
Laporan : REZAN OKTO WESA
SEJAK Naiknya harga BBM subsidi, para nelayan di Kabupaten BS membatasi area penangkapan ikan di laut lepas.
Jika sebelumnya nelayan bisa tembus perjalanan hingga 17 mil laut, saat ini hanya sampai setengahnya saja.
Akibat dari pembatasan area tangkap, hasil ikan yang didapat menurun drastis.
Di TPI Pasar Bawah misalnya, dari 155 perahu nelayan yang aktif melaut, sekarang ini hanya 80 persen saja yang berlayar setiap hari.
Sedangkan sisanya hanya menempuh pelayaran tiga hari sekali bahkan sepekan sekali. Ini semua dilakukan untuk penghematan biaya pembelian BBM.
Bahkan, para nelayan juga banyak yang beralih profesi dengan berjualan ikan. Ini agar kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi.
“Sudah dua pekan ini BBM naik, dampaknya sangat terasa ke kami para nelayan. Pengeluaran berlayar tidak sebanding lagi dengan hasil tangkapan yang didapat,” ujar Efen (45) nelayan Pasar Bawah.
Diceritakan Efen, sebelum kenaikan harga BBM, para nelayan Pasar Bawah bisa berlayar hingga ke laut lepas berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kaur, bahkan sampai ke arah Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara.
Namun sekarang tidak lagi dilakukan mengingat biaya pembelian BBM sangat besar.
“Sekali berlayar satu perahu minimal butuh 80 liter BBM. Nah kalau di harga saat ini, 80 liter itu sudah Rp800 ribu. Jumlah itu sangat besar bagi kami nelayan. Makanya, area tangkap dikurangi saja,” kata Efen.
Namun timbul masalah lain. Saat area tangkap dikurangi. Hasil tangkapan ikan justru berkurang drastis.
Ini dikarenakan jumlah ikan diarah tepi laut sudah minim dan bobotnya tidak terlalu besar. “Paling sehari hanya dapat 20 kilo ikan saja.
Per kilo kami jual Rp20 ribu, berarti hanya dapat uang Rp400 ribu. Hasil ini masih kurang jauh dari biaya pembelian BBM subsidi,” sambung Efen.
Iksan (31), nelayan lainnya juga mengeluhkan hal serupa. Kenaikan harga BBM membuat dirinya berputar haluan dengan menjadi pedagang ikan.
Meski keuntungan menjual ikan terbilang masih minim, namun uang yang diterima nyata alias tidak lagi mengadu nasib di tengah lautan.
“Sepekan itu paling dua hari melaut, sisanya saya jual ikan di TPI. Ini saya nilai efektif daripada hanya bergantung dengan menangkap ikan saja,” katanya.
Selain itu, jeritan para nelayan yang membuat mereka banyak putar haluan lantaran fasilitas tangkap ikan yang semakin minim. Baik jaring, boks ikan, pancing hingga perahu.
Pada ekonomi sulit saat ini, nelayan kesulitan memperbarui fasilitas tangkap ikan. Alhasil, fasilitas yang lama terus digunakan dan tidak lagi memberikan hasil yang maksimal.
“Yang paling penting itu jaring, tapi sekarang harganya melonjak tajam akibat kenaikan BBM. Satu set jaring ikan itu tembus Rp4 juta. Belum lagi pelampung dan talinya,” keluh Iksan.
Maka itu, pihaknya berharap Pemkab BS bisa memberikan solusi jangka panjang bagi kehidupan para nelayan.
nelayan menginginkan agar pemerintah bisa ambil peran dalam mendongkrak fasilitas tangkap nelayan.
“Kamipun berharap agar pemerintah bisa menanggulangi masalah alat tangkap hingga distribusi ikan. Karena selama ini, nilai jual ikan di BS masih sangat minim. Akibatnya, nelayan BS kalah berkembang dari nelayan wilayah lain,” pungkasnya. (**)
Sumber: