Sejarah Depok Jawa Barat: Dibeli Penjajah Rp 2,4 Juta Lalu Dijadikan Negara, Berikut Nama Presidennya

Sejarah Depok Jawa Barat: Dibeli Penjajah Rp 2,4 Juta Lalu Dijadikan Negara, Berikut Nama Presidennya

Pusat Pemerintah Kota Depok Jawa Barat saat berstatus Negara-istimewa-godepok.com

RASELNEWS.COM - Depok, merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Depok merupakan singkatan dari “De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen,” yang berarti jemaat Kristen yang pertama.

Dan tahukah Anda, semasa masa penjajahan, Depok merupakan sebuah negara. Seperti negara umumnya. Depok saat itu dipimpin seorang Presiden. Selama menjadi negara, setidaknya ada 3 nama yang pernah menjabat Presiden Depok.

BACA JUGA:Tempat Wisata Sejarah Paling Terkenal di Indonesia, Salah Satunya di Bengkulu, Berikut 5 Tempat Wisata Sejarah

Namun sebelum mengetahui siapa saja presiden tersebut, perlu diketahui akronim Depok muncul di sekitar tahun 1950-an dari kalangan Belanda yang menerap di Depok.

Versi lain, Depok juga berasal dari istilah pribumi asli yaitu Deprok yang artinya duduk santai. Istilah Depok sendiri bermula sejak zaman Kerajaan Padjadjaran tahun 1020-1579 Masehi, tentang kisah perjalanan Prabu Siliwangi yang singgah di kawasan Beji, Depok.

Ketiak itu, Prabu Siliwangi sedang duduk santai (ngedeprok) di Kawasan Sungai Ciliwung. Sang Prabu terpesona akan keindahan dan keasrian dari tempat tersebut. Hal itulah yang membuat Kawasan ini disebut dengan istilah Depok.

BACA JUGA:Sejarah Lengkap Penemuan Benua Antartika, Benua Terluas Nomor Lima di Dunia, Suhunya Paling Dingin Sejagat

Kisah lainnya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purba dari Kesultanan Banten melakukan perjalanan ke Cirebon. Mereka menggunakan jalur yang melintasi kawasan Depok dan sempat menetap di Beji.

Salah seorang Pengikut Pangeran Purba, yang Bernama Mbah Raden Wujud, memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Cirebon. Mbak Raden justru menetap dan mendirikan padepokan untuk menyebarkan agama Islam. Padepokan ini kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan oleh Kesultanan Banten disebut Depok atau padepokan.

Di masa pejajahan, seorang pejabat VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau kongsi dagang terbesar asal Belanda yang pada abad ke-17 yang menguasai pusat perdagangan di wilayah Asia), Cornelis Chastelein, menduduki Depok membeli tanah seluas 12,44 km2 dengan harga Rp 2,4 juta.

BACA JUGA:Sejarah dan Perkembangan HP, Motorola HP Pertama Dibuat, Segini Biaya Produksinya

Tanah ini bukan bagian dari kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, melainkan milik pribadi. Pada abad ke-18, Depok adalah sebuah wilayah administratif dengan pemerintahan sendiri, yang disebut gemeente bestuur atau pemerintah sipi. Chastelein menjadi penguasa pertama dan pendiri Depok.

Pada saat itu, wilayah Depok masih berupa hutan belantara. Dengan bantuan budak-budak dari berbagai suku daerah, Chastelein membuka lahan pertanian dengan menebang hutan. Wilayah Depok yang sangat luas mencakup seluruh kawasan Depok saat ini, Pasar Minggu di Jakarta Selatan, hingga Gambir di Jakarta Pusat.

Penduduk pertama yang tinggal di Depok adalah budak-budak milik Chastelein. Pada tahun 1913, Depok memiliki presiden pertamanya melalui pemerintahan yang disebut Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok.

BACA JUGA:Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia, Berawal Dari Empat Biji, Hingga Menjadi Tanaman Perkebunan Menggurita

Presiden-presiden Depok dipilih secara demokratis oleh rakyat, dan pusat pemerintahannya berada di titik Kilometer 0 yang ditandai oleh Tugu Depok. Gedung pemerintahan yang sekarang menjadi Rumah Sakit Harapan juga terletak di dekatnya. Namun, presiden hanya menjabat selama tiga tahun.

Presiden pertama Depok adalah Gerrit Jonathans yang menjabat pada tahun 1913. Selanjutnya, terdapat tiga presiden lain yang memimpin, yaitu Martinus Laurens pada 1921, Leonardus Leander pada 1930, dan Johannes Matjis Jonathans pada 1952. Sayangnya, tidak ada catatan yang rinci tentang masa pemerintahan masing-masing presiden.

Chastelein adalah seorang penganut Katolik yang taat dan memiliki sikap dermawan terhadap budak-budaknya. Sebelum meninggal pada tanggal 28 Juni 1714, ia mewasiatkan lahan, rumah, hewan, dan alat pertanian kepada seluruh budaknya, serta memberikan mereka kemerdekaan. Untuk menghindari konflik setelah kematiannya, ia menunjuk Jarong van Bali sebagai pemimpin mereka.

BACA JUGA:Lima Suku yang Mendiami Pulau Enggano, Surga Terpencil di Bengkulu, Berikut Sejarah dan Perkembangan Enggano

Budak-budak yang telah merdeka tersebut khawatir akan terjadi persaingan kekuasaan setelah kematian Jarong van Bali.

Oleh karena itu, mereka sepakat menerapkan sistem demokrasi dalam pemilihan pemimpin, yang disebut presiden, setiap tiga tahun sekali.

Sumber: